Siang ini (23/7) mentari bersinar cerah. Ku pacu "si bagong" th 1987 melaju di jalur cengkal-eromoko. Hati berbinar saat melihat puluhan kawan lama melaju bersama.
Panas mesin, sinar surya, memaksaku berhenti di selatan jembatan. Ku lihat bapak bapak yg tdk muda lagi usianya trampil membuat dawet hitam. Segera ku pesan empat mangkuk dawet hitam khas purworejo.
Dahaga segera terobati. Ku lanjutkan bercakap. Bercerita tentang "si bagong" yg raganya terlihat tua tapi semangatnya tetap muda. Bapak penjual dawet pun dg semangat bercerita jika ia memiliki dua "bagong" di garasinya yg selalu setia menemani berjualan ke berbagai daerah.
Di akhir pebincangan kami, ia bercerita bhw berjualan dawet tdk ada ruginya. Ia mengatakan bahwa "berjualan dawet Tidak kenal rugi
Hanya untung yang tertunda". Pungkasnya
Siang ini (23/7) mentari bersinar cerah. Ku pacu "si bagong" th 1987 melaju di jalur cengkal-eromoko. Hati berbinar saat melihat puluhan kawan lama melaju bersama.
Panas mesin, sinar surya, memaksaku berhenti di selatan jembatan. Ku lihat bapak bapak yg tdk muda lagi usianya trampil membuat dawet hitam. Segera ku pesan empat mangkuk dawet hitam khas purworejo.
Dahaga segera terobati. Ku lanjutkan bercakap. Bercerita tentang "si bagong" yg raganya terlihat tua tapi semangatnya tetap muda. Bapak penjual dawet pun dg semangat bercerita jika ia memiliki dua "bagong" di garasinya yg selalu setia menemani berjualan ke berbagai daerah.
Di akhir pebincangan kami, ia bercerita bhw berjualan dawet tdk ada ruginya. Ia mengatakan bahwa "berjualan dawet Tidak kenal rugi
Hanya untung yang tertunda". Pungkasnya
0 Comment for "Si Bagong dan Pak Tua"